Pertanyaan :
Suami Dalam Dilema Karena Istri Selingkuh
Salam sejahtera, pada tanggal 19 Mei lalu istri saya selingkuh (berhubungan suami istri) dengan seorang lelaki beristri di sebuah hotel pada saat saya sedang bekerja. Pada 26 Mei 2011 istri saya diajak menginap di rumah si lelaki selama 2 hari 1 malam, dan berhubungan suami istri. Yang saya tanyakan, bisakah si lelaki atau istri saya terjerat hukum bila saya laporkan ke pihak yang berwajib? Trim's salam suami yang dalam dilema.
Jawaban :
Selingkuh, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti; 1 suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; 2 suka menggelapkan uang; korup; 3 suka menyeleweng.
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia menentukan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Namun, dalam upaya mewujudkan tujuan itu, pasangan suami-istri akan menemui bermacam batu ujian, misalnya adanya perselingkuhan baik dari pihak suami atau istri.
Selain dilarang oleh agama, perselingkuhan juga dapat menjadi pemicu retaknya rumah tangga. Jika perselingkuhan telah mengarah ke perbuatan zina, maka suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya ke polisi atas dasar Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Berikut bunyi pasalnya:
Pasal 284
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan lebih lanjut mengenai gendak/overspel atau yang disebut Soesilo sebagai zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Untuk dapat dikenakan pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.
Dari ketentuan tersebut di atas, tampak bahwa baik istri Anda maupun laki-laki yang mempunyai hubungan khusus dengan istri Anda dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 284 KUHP. Namun, proses penuntutan secara pidana hanya dapat dilakukan atas pengaduan Anda atau istri dari laki-laki itu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP. Ditegaskan pula oleh R. Soesilo bahwa Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang dirugikan (yang dimalukan).
R. Soesilo menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah, maksudnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa isterinya (B) telah berzinah dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinahan dan C sebagai yang turut melakukan perzinahan, kedua-duanya harus dituntut.
Akan tetapi, karena pada dasarnya upaya hukum pidana seharusnya merupakan ultimum remidium (upaya terakhir) dalam penyelesaian suatu masalah, kami menyarankan Anda untuk lebih mengedepankan upaya kekeluargaan dengan istri Anda maupun laki-laki tersebut dengan mengingat tujuan dari suatu perkawinan itu sendiri.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4eb8f52db88a6/suami-dalam-dilema-karena-istri-selingkuh
Hak Asuh Anak dan Harta Bersama Bagi Orang yang Selingkuh
PERTANYAAN:
Selamat pagi.
Saya telah ditalak oleh suami karena memang saya yang salah (telah selingkuh). Saat ini perceraian kami dipengadilan sedang dalam proses, ttpi scara agama kami sudah bercerai. Dari pernikahan kami, kami mempunyai seorang anak perempuan berusia 3,5 thn. Kami telah berpisah (tdk tinggal se rumah lg) & anak diambil oleh suami (walaupun sebenernya saya sangat ingin jika saya yang mengurus anak kami). Dan selama menikah (± 7thn), hampir smua kebutuhan RT saya yg handle, karena penghasilan suami tdk mencukupi. Dan dr penikahan kami, kami memiliki sebuah kendaraan (mobil), yg memang smpai dgn saat ini msh belum lunas (kredit), dimana DP utk mobil itu jg dr hasil saya pinjam ke bank.
Sekarang mobil dipakai suami utk usaha rental, nama di bpkb & stnk mobil atas nama saya. Tetapi saya merasa, suami ingin memiliki sepenuhnya HAK atas anak kami & mobil tsb.
Yang ingin saya tanyakan :
Apakah bisa, di persidangan nanti, hak asuh anak jatuh ditangan saya, mengingat memang perceraian ini karena ksalahan saya (selingkuh), ttpi anak msh dibawah umur (shingga lbh baik jika ibu nya yg mengurus)
Siapa yg berhak atas mobil tsb ? Karena memang ci2lannya suami yang byr (karena hsl dr rental jg suami yg pegang, suami yg manikmati. Tetapi DP awal mbl itu dr saya), bagaimana cara nya kalo saya ingin agar mobil itu bisa saya ambil dr suami saya ? (Mengingat, dr segi hukum yg berhak atas mbl itu adlh saya, karena nama debitur dan stnk a/n: saya &nnti nya bpkb jg a/n: saya)Demikian pertanyaan dr saya, sebelumnya saya ucapkan trima kasih.
-D-
Di Jkt
JAWABAN:
Saudari penanya yang kami hormati.
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke website kami.
Tentang perkawinan dan perceraian
Dasar hukum perkawinan adalah UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo PP no 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksana UU nomor 1 tahun 1974 serta KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Berdasarkan pasal 38 dan 39 UU nomor 1 tahun 1974, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, sedangkan yang terjadi di luar pengadilan dianggap tidak pernah terjadi, karena tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ada sebagian masyarakat yang masih membedakan hukum perceraian dengan istilah “cerai menurut agama” dengan “cerai menurut negara”. Padahal peraturan perundang-undangan perkawinan, khususnya yang membahas tentang perceraian, gunanya adalah untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak dari kezaliman salah satu pihak sehingga pihak yang merasa dirugikan haknya dan dizalimi dapat memperoleh perlindungan secara hukum. Akan tetapi, sebagian masyarakat tidak menyadarinya, ketika ada permasalahan atau ada hak yang ingin dituntut, barulah meminta perlindungan hukum kepada pengadilan, khususnya mengenai perceraian ini. Tetapi sebaliknya, ketika merasa tidak ada permasalahan, mereka tidak memakai hukum yang diatur oleh undang-undang. Logika berpikir yang demikian itulah seharusnya sudah diubah dari sekarang. Berikut kami paparkan pasal yang mengatur tentang perceraian dan akibat yang timbul dari perceraian tersebut.
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.
Tentang hak asuh anak
Tentang pemeliharaan anak diatur dalam UU nomor 1 tahun 1974 pasal 41 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 98 sd 106. Siapa yang berhak mengasuh anak tersebut dijelaskan dalam
Pasal 41 UU nomor 1 tahun 1974:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
pasal 105 KHI:
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, baik suami atau isteri sama-sama berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, walaupun nanti bisa saja salah satu pihak yang diputuskan oleh Pengadilan untuk mengasuhnya, akan tetapi tidak menghalangi pihak lain untuk tetap bertemu dan bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya.
Hukum asal dari pengasuhan anak adalah jika anak tersebut belum mumayiz dan belum berumur 12 tahun, maka hak asuh adalah ditangan ibunya, dan bila sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih apakah ikut ayahnya atau ibunya. Walaupun demikian, ketentuan pasal 105 hur a KHI tersebut bisa saja tidak berlaku oleh sebab putusan Pengadilan, jika Hakim menilai ibunya tidak layak mengasuh anak-anaknya, misal ibunya sering mabuk-mabukan, menyiksa anak, atau perbuatan lainnya yang menurut hakim ibunya tidak pantas mengasuh anak-anaknya, walaupun anak tersebut belum mumayiz atau belum berusia 12 tahun, bisa saja pengasuhan beralih kepada ayahnya.
Tentang harta kekayaan selama perkawinan
Tentang harta kekayaan selama perkawinan diatur dalam UU nomor 1 tahun 1974 pasal 35 sd 37, Kompilasi Hukum Islam pasal 85 sd 97. Definsi harta bersama terdapat dalapm KHI pasal 1 huruf f : Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
UU nomor 1 tahun 1974:
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masingmasing.
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.
Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, semua harta yang diperoleh selama perkawinan, baik atas nama isteri ataupun atas nama suami, baik suami bekerja sedangkan isteri tidak, atau sebaliknya isteri yang bekerja, suami tidak, isteri yang membeli ataupun suami yang membeli, memakai gaji isteri ataupun suami, maka harta yang diperoleh selama masa perkawinan tersebut adalah harta bersama, selama tidak ada perjanjian perkawinan.
Adapun harta yang masih dalam kreditan, maka yang dinilai sebagai harta bersama adalah jumlah uang yang sudah dibayar untuk cicilan kredit tersebut, kemudian harta tersebut akan menjadi milik sepenuhnya oleh pihak mana yang melunasi kredit tersebut, isteri ataukah suami. Hal tersebut untuk menentukannya harus berdasarkan putusan Pengadilan, kami hanya memberikan pendapat, dan pendapat ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Demikian jawaban dari kami.
Atas kesalahan dan kekurangannya, kami mohon maaf
Semoga bermanfaat
Wassalam
Admin
http://konsultasi-hukum-online.com/2014/02/hak-asuh-anak-dan-harta-bersama/